Apa yang terucap dari lisan dan semua yang terungkap dalam sikap dan perbuatan kita, bergantung pengetahuan dan ilmu yang kita ketahui. Seseorang menjadi baik, karena ilmu yang dia miliki. Seseorang menjadi buruk, karena kebodohannya atau tak punya ilmu. Bila baik dan buruk itu dalam konteks urusan dunia, maka timbangan ilmu yang dimaksud juga adalah tentang ilmu dunia. Bila baik dan buruk yang dimaksud dalam tolak ukur ketakwaan atau mengenai penilaian Allah SWT, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu agama.
Dalam pembahasan kita saat ini, yang dimaksudkan ilmu disini adalah ilmu mengenai ketaatan hamba kepada Allah SWT. Yaitu ilmu Agama. Orang baik dihadapan Allah SWT selalu dipengaruhi oleh pemahamannya terhadap ilmu agama. Orang buruk dihadapan Allah SWT berbanding lurus dengan kebodohannya terhadap ilmu agama. Karenanya, penyifatan bodoh (jahiliyah) oleh Al Qur'an disematkan kepada mereka yang tidak mau taat kepada Allah SWT. Rasulullah sendiri ummi, buta huruf tidak bisa membaca. Sedangkan orang kafir bernama Nadhr bin Harits, adalah sastrawan Quraisy yang karya-karya syairnya memukau pembacanya, licik, pintar siasat, tapi tetap saja tersemat padanya sebagai manusia jahiliyah. Dan simak bagaimana Al Qur'an mengabarkan kebinasaan untuknya : "Dan diantara manusia (ada) yang mempergunakan perkataan tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan." (QS. Luqman : 7).
Kalau kita membaca sejarah Rasulullah SAW, kita tahu bahwa penduduk Quraisy Mekkah bukanlah komunitas berperadaban rendah dimasanya. Dalam ilmu bahasa, mereka memiliki banyak sastrawan. Dalam ilmu relasi dan manajemen, mereka adalah bangsa pedagang yang memiliki pasar terbesar di jazirah Arab. Bila musim haji datang, mereka tertib memberi pelayanan kepada para pengunjung yang datang.
Hubungan dagang dengan pusat peradaban Romawi di Syam dan Persia, sedikit banyak telah meningkatkan taraf pemikiran mereka. Namun, apakah semua kejayaan tersebut menyebabkan mereka bebas dari sematan bangsa jahiliyah? Tidak. Bagaimanapun, penyimpangan mereka terhadap agama tauhid Nabi Ibrahim As. adalah tindakan bodoh. Karenanya mereka disebut kamu Jahiliyah. Ironis bukan? Di tengah kemajuan, meeka tak menyisakan apa-apa dihadapan Allah SWT kecuali sebagai kaum yang bodoh (jahiliyah).
Maka sederhananya, kita bukan orang bodoh selama kita berada dalam ketaatan kepada Allah SWT. Sebaliknya, kita adalah manusia bodoh selama kepintaran kita semakin menjauhkan dari ketaatan kepada Allah SWT.
Seorang pemilik perusahaan besar dengan keahlian manajemennya, tidak sholat pada waktunya, sedangkan petugas cleaning service yang lulusan SMP sholat pada waktunya. Siapa yang bodoh menurut Anda?
Maka pahamilah oleh kita, dan jangan kita salah memilih alat ukur. Kemuliaan kita disisi Allah SWT bergantung dengan ketakwaan, sedangkan ketakwaan kita dipengaruhi oleh seberapa kita mengerti tentang apa yang diperintah dan apa yang dilarang oleh Allah SWT. Tidak mungkin Anda bisa bertakwa dengan sebenar-benar takwa bila tidak mengerti mana yang boleh mana yang tidak boleh menurut Allah SWT. Kemengertian kita terhadap perintah dan larangan Allah SWT, itulah ilmu yang paling hakiki dan wajib terus diselami. Karenanya adalah keniscayaan bila kita selalu menjadikan ulama sebagai panutan. Wallahu A'lam.
Sumber : Majalah Nurul hayat edisi 157 Februari 2017
Semoga Bermanfaat.
Silahkan SHARE.