Tatkala Nabi saw berdiri, Abdullah bin Amru bin Ash segera mengikuti orang lelaki tersebut dan berkata kepadanya “Sesungguhnya saya telah bertengkar dengan bapak saya dan bersumpah tidak akan mendatanginya selama tiga hari. Seandainya akhi (saudara) mengizinkan saya tinggal di rumah akhi selama tiga hari itu, niscaya aku akan ikut akhi pulang”, “lelaki itu menjawab “Ya silahkan”, kemudian Abdullah menceritakan bahwa selama tiga hari tinggal bersamanya, tak sekalipun ia melihat lelaki itu melakukan shalat malam, kecuali setiap lelaki itu berbalik dalam tidurnya dia menyebut nama Allah dan bertakbir hingga terbangun untuk melakukan shalat subuh. Abdullah menambahkan, “Hanya saja saya tidak mendengarnya berkata selain dengan perkatan yang baik”.
Lewatlah sudah tiga malam, dan saya pun hampir meremehkan amalnya. Kemudian saya katakan kepadanya, “wahai hamba Allah, sebenarnya tidak pernah terjadi pertengkaran antara aku dan bapakku, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah saw mengatakan tentangmu tiga kali dengan ucapan, sekarang akan muncul seorang lelaki dari penghuni syurga, selama tiga kali itu pula engkau muncul, karena itu aku berusaha menginap di rumahmu untuk melihat apa yang engkau lakukan sehingga aku bisa mencontohmu, namun aku tidak melihatmu mengerjakan amalan yang besar, lalu apa sebabnya engkau bisa mencapai derajad seperti yang dikatakan Rasulullah tersebut?” Laki-laki itu menjawab “ tidak ada yang saya kerjakan selain apa yang telah engkau perhatikan.” Kata Abdullah, ketika dia berpaling meninggalkannnya, lelaki itu memanggilnya seraya berkata, “Tidak ada yang saya kerjakan selain apa yang telah engkau perhatikan, tetapi tidak tersimpan sedikitpun dalam hatiku keinginan untuk menipu seorangpun dari kaum muslimin atau menaruh dengki padanya atas kebaikan yang dikaruniakan Allah kepadanya. Kemudian Abdullah berkata, “inikah yang telah mengangkat derajadmu setinggi itu?”
Kedalaman hati siapa yang tahu?
Bisa jadi segala sesuatu yang kita anggap remeh dan biasa saja, namun justru sesuatu itu memiliki nilai yang lebih dalam pandangan Allah. Bisa jadi baik dalam pandangan manusia, belum tentu baik pula dalam pandangan Allah. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS.2: 216)Sebagaimana kisah seorang pelacur yang menjadi penghuni surga dikarenakan telah memberikan minum seekor anjing yang kehausan. Biasa dalam pandangan manusia, sekedar memberi minum seekor anjing, namun berbeda dalam pandangan Allah.
Sebagaimana pula sebuah kisah Rifa’ah bin Zaid dari Bani Dhubaib, salah seorang budak Rasulluah, yang terkena panah seusai perang khaibar berlangsung. Para sahabat berkata “Kami senang ia gugur syahid wahai Rasulullah” dan Rasulullah saw menjawab “Tidak! Demi Zat yang menguasai Muhammad. Sesungguhnya sebuah mantel akan mengobarkan api neraka atasnya. Mantel itu ia ambil dari harta rampasan perang Khaibar, yang bukan jatahnya. Para sahabat menjadi takut. Lalu seseorang datang membawa seutas atau dua utas tali sandal, seraya berkata: Wahai Rasulullah, aku mendapatkannya pada waktu perang Khaibar. Rasulullah saw. bersabda: Seutas tali (atau dua utas tali) sandal dari neraka” (Shahih Muslim No.166). Sebuah kematian yang baik dalam pandangan manusia, ternyata belum tentu baik dalam pandangan Allah.
Sebuah pelajaran berharga pula dinasehatkan oleh Abu Syaikh rahimahullah, “Jika engkau banyak shalat, janganlah engkau berbangga dengan prestasi itu, sebab terkadang orang lain yang engkau anggap banyak berbuat keliru, boleh jadi ia lebih menepati janji daripada engkau. Jika engkau selalu menepati janji, janganlah engkau berbangga dengannya, sebab bisa jadi orang lain yang engkau anggap cela perbuatannya adalah orang yang selalu menjaga silaturahim. Dan jika engkau kuat menjaga silaturahim, janganlah engkau berbangga karenanya, sebab bisa jadi orang lain yang kau cela sebagian sifatnya lebih banyak puasanya darimu”
Inilah yang justru tidak mampu kita lakukan
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sebagian dari berprasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. 49 : 12)
Memberikan hati yang bersih, tidak menyimpan prasangka yang jelek terhadap kaum muslimin kelihatannya sederhana, tetapi justru itulah yang seringkali sulit kita lakukan. Mungkin kita mampu berdiri dimalam hari, sujud dan ruku dihadapan Allah SWT, akan tetapi sulit bagi kita untuk menghilangkan kedengkian kepada sesama kaum muslimin, hanya karena kita duga memiliki paham yang berbeda, hanya karena kita fikir bahwa dia berasal dari golongan yang berbeda, atau hanya karena dia memperoleh kelebihan yang diberikan Allah dan kelebihan itu tidak kita miliki.“Inilah justru yang tidak mampu kita lakukan”, kata Abdullah bin Amr (Hayat Al Shahabah, II, 520-521)
Oleh: Meylina Hidayanti, Sragen
fimadani.com