Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru, ia berkata, “Rasulullah melaknat pemberi suap dan penerima suap.” (HR Ahmad, Adu Daud, Ibnu Majah, Tirmizi, al-Hakim, dan al-Baihaqi). Para ulama bersepakat, suap-menyuap diharamkan dan merupakan dosa besar yang pelakunya mendapatkan laknat dari Rasulullah.
Allah SWT menegaskan hal itu dalam Alquran, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan ber buat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS al- Baqarah [2]: 188).
Dalam ayat lain Allah menyatakan, “Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucap kan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya, amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS al-Maidah [5]: 63). Imam al-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan, yang dimaksud memakan yang haram dalam ayat di atas adalah risywah (suap-menyuap).
Adapun yang dibolehkan oleh jumhur ulama adalah memberikan suap untuk mendapatkan haknya atau untuk mencegah kezaliman atas dirinya. Dan, ini hanya dibolehkan bagi yang memberi, sedangkan bagi yang menerima suap tersebut maka hukumnya tetap haram dan tidak ada seorang pun ulama yang membolehkannya.
Jadi, syarat untuk dibolehkannya seseorang membayar suap kepada seseorang. Pertama, dia membayarnya untuk mendapatkan haknya atau untuk mencegah kezaliman atas dirinya sedangkan jika ia membayarnya untuk mengambil yang bukan haknya, itu merupakan dosa besar. Kedua, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan hak atau mencegah kezaliman itu kecuali melalui suap tersebut.
Sebagai umat Islam yang menjadikan Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW sebagai pegangan hidup kita, tentunya kita selalu mengembalikan segala sesuatu kepada keduanya agar hidup kita selamat di dunia dan di akhirat. Bukan sebaliknya, mengacu pada pendapat orang bertentangan dengan keduanya.
Selama pendapat para ulama itu ada dalilnya dan tidak bertentangan dengan Alquran dan sunah, kita boleh mengikutinya, tapi sebaliknya, jika bertentangan, kita tidak boleh mengikutinya. Para ulama Islam juga selalu menegaskan bahwa umat Islam harus selalu berpegangan kepada Alquran dan sunah.
Imam Syafii mengatakan, “Jika suatu hadis itu sahih, itulah mazhabku.”
Dan, Imam Malik menegaskan, “Setiap orang ucapannya bisa diambil atau ditinggalkan, kecuali orang yang ada di dalam kubur ini sambil menunjuk ke arah kuburan Nabi Muhammad SAW.”
Wallahu a’lam bish shawab.
Dikutip dari Konsultasi Agama pada Harian Republika yang diasuh Ustaz Bachtiar Nasir edisi Senin, 14 Mei 2012
Allah SWT menegaskan hal itu dalam Alquran, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan ber buat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS al- Baqarah [2]: 188).
Dalam ayat lain Allah menyatakan, “Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucap kan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya, amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS al-Maidah [5]: 63). Imam al-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan, yang dimaksud memakan yang haram dalam ayat di atas adalah risywah (suap-menyuap).
Adapun yang dibolehkan oleh jumhur ulama adalah memberikan suap untuk mendapatkan haknya atau untuk mencegah kezaliman atas dirinya. Dan, ini hanya dibolehkan bagi yang memberi, sedangkan bagi yang menerima suap tersebut maka hukumnya tetap haram dan tidak ada seorang pun ulama yang membolehkannya.
Jadi, syarat untuk dibolehkannya seseorang membayar suap kepada seseorang. Pertama, dia membayarnya untuk mendapatkan haknya atau untuk mencegah kezaliman atas dirinya sedangkan jika ia membayarnya untuk mengambil yang bukan haknya, itu merupakan dosa besar. Kedua, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan hak atau mencegah kezaliman itu kecuali melalui suap tersebut.
Sebagai umat Islam yang menjadikan Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW sebagai pegangan hidup kita, tentunya kita selalu mengembalikan segala sesuatu kepada keduanya agar hidup kita selamat di dunia dan di akhirat. Bukan sebaliknya, mengacu pada pendapat orang bertentangan dengan keduanya.
Selama pendapat para ulama itu ada dalilnya dan tidak bertentangan dengan Alquran dan sunah, kita boleh mengikutinya, tapi sebaliknya, jika bertentangan, kita tidak boleh mengikutinya. Para ulama Islam juga selalu menegaskan bahwa umat Islam harus selalu berpegangan kepada Alquran dan sunah.
Imam Syafii mengatakan, “Jika suatu hadis itu sahih, itulah mazhabku.”
Dan, Imam Malik menegaskan, “Setiap orang ucapannya bisa diambil atau ditinggalkan, kecuali orang yang ada di dalam kubur ini sambil menunjuk ke arah kuburan Nabi Muhammad SAW.”
Wallahu a’lam bish shawab.
Dikutip dari Konsultasi Agama pada Harian Republika yang diasuh Ustaz Bachtiar Nasir edisi Senin, 14 Mei 2012