Oleh: Abu Umar Al Bankawy
Rahasia adalah perkara tersembunyi yang terjadi di antara diri kita dan orang lain. Menjaga rahasia adalah dengan tidak menyebarkannya atau bahkan sekedar menampakkannya. Menjaga rahasia hukum asalnya adalah wajib karena rahasia termasuk janji yang harus ditunaikan. Allah berfirman,
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu akan ditanyakan.” (Al Isra’: 34)
Membedakan antara Rahasia atau Bukan
Sebuah perkara adalah rahasia atau tidak bisa kita ketahui dari berbagai cara:
- Dengan ucapan, yaitu seseorang menceritakan sesuatu kepada Anda, kemudian dia berkata, “Ini rahasia ya, jangan sampaikan kepada yang lain.”
- Dengan perbuatan, misalnya seseorang menyampaikan sesuatu kepada Anda secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi, tidak ingin ada orang yang tahu. Maka ini pun merupakan rahasia yang harus dijaga.
- Dengan melihat kondisi. Yaitu dengan memperhatikan apakah perkara yang dia katakan itu akan membuat dirinya malu nanti apabila disampaikan atau disebarkan kepada orang lain, maka ini pun dianggap sebagai rahasia.
Bila kita sudah tahu bahwa perkaranya adalah perkara rahasia, maka tidak halal bagi kita untuk menyampaikannya kepada orang lain.
Penjagaan Para Sahabat terhadap Rahasia Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Termasuk yang perlu diteladani dalam penjagaan rahasia adalah penjagaan para sahabat terhadap rahasia Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam.
Dari Tsabit, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أتَى عَلَيَّ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وَأنَا ألْعَبُ مَعَ الغِلْمَانِ ، فَسَلمَ عَلَيْنَا ، فَبَعَثَني إِلَى حاجَةٍ ، فَأبْطَأتُ عَلَى أُمِّي . فَلَمَّا جِئْتُ ، قالت : مَا حَبَسَكَ ؟ فقلتُ : بَعَثَني رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – لِحَاجَةٍ ، قالت : مَا حَاجَتُهُ ؟ قُلْتُ : إنَّهاَ سرٌّ . قالت : لا تُخْبِرَنَّ بِسرِّ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أحَداً ، قَالَ أنَسٌ : وَاللهِ لَوْ حَدَّثْتُ بِهِ أحَداً لَحَدَّثْتُكَ بِهِ يَا ثَابِتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangiku dan di waktu itu aku sedang bermain-main dengan beberapa orang anak. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam kepada kami, kemudian menyuruhku untuk sesuatu keperluannya. Oleh sebab itu aku terlambat mendatangi ibuku. Selanjutnya setelah aku datang, ibu lalu bertanya, ‘Apakah yang menahanmu?’”
Aku pun berkata, “Aku diperintah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk sesuatu keperluannya.”
Ibu bertanya, “Apakah hajatnya itu?”
Aku menjawab, “Itu adalah rahasia.”
Ibu berkata, “Kalau begitu jangan sekali-kali engkau memberitahukan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut kepada siapapun juga.”
Anas berkata, “Demi Allah, andaikata rahasia itu pernah aku beritahukan kepada seseorang, sesungguhnya aku akan memberitahukan hal itu kepadamu pula, wahai Tsabit.” (HR. Muslim, diriwayatkan pula oleh Al Bukhari dengan ringkas)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, katanya:
“Kami semua, para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berada di sisi beliau pada saat itu. Kemudian menghadaplah puteri beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anha dengan berjalan dengan cara jalannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliaupun menyambutnya dengan baik dan bersabda: “Marhaban hai puteriku.” Fathimah disuruhnya duduk di sebelah kanannya atau -menurut riwayat lain- di sebelah kirinya. Seterusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membisikinya, lalu Fathimah menangis dengan tangisnya yang keras sekali.
Setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melihat kegelisahan puterinya lalu dibisikinya sekali lagi. Fathimah pun tertawa.”
Aku berkata kepada Fathimah, “Engkau telah diistimewakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di antara sekalian istri-istrinya dengan dibisiki, kemudian engkau menangis.” Sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dari tempatnya, lalu aku bertanya kepada Fathimah, “Apakah yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam padamu itu?” Fathimah menjawab,
مَا كُنْتُ لأُفْشِي عَلَى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سِرَّهُ
“Aku tidak akan menyiar-nyiarkan apa yang dirahasiakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“
Sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, aku pun berkata kepada Fathimah, “Aku sengaja hendak bertanya kepadamu dengan cara yang sebenarnya, supaya engkau memberitahukan kepadaku apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.“
Fathimah menjawab, “Sekarang aku akan memberitahumu. Adapun yang dibisikkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada pertama kalinya, yaitu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan kepada aku bahwasanya Jibril dahulunya memberikan kepadanya wahyu dari Al Quran itu dalam setahun sekali, sedang sekarang dalam setahun diberikan dua kali. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak mengetahui tentang datangnya ajalku itu, melainkan tentu sudah dekat. Maka dari itu bertaqwalah engkau dan bersabarlah, sesungguhnya saja sebaik-baiknya salaf (pendahulu) bagimu adalah aku.” Karena itu lalu aku menangis sebagaimana tangisku yang engkau lihat dulu itu.
Selanjutnya setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melihat betapa kegelisahan hatiku, lalu aku dibisikinya untuk kedua kalinya, lalu beliau bersabda, “Wahai Fathimah, tidakkah engkau suka jikalau engkau menjadi penghulu dari seluruh wanita dari kalangan kaum mu’minin atau penghulu dari seluruh wanita dari kalangan umat ini?” Oleh karena itu, maka aku pun tertawa sebagaimana yang dulu engkau lihat.” (Muttafaq ‘alaih, dan Ini adalah lafazh Muslim)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga pernah menceritakan bahwa ketika saudari perempuannya Hafshah bintu Umar menjanda, Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu lalu menawarkan Hafshah kepada Utsman. Utsman radhiyallahu ‘anhu lalu menolak tawaran Umar.
Umar kemudian menawarkan Hafshah kepada sahabat yang lain, yaitu Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Abu Bakr hanya terdiam, tidak memberi jawaban. Umar pun menjadi marah kepada Abu Bakr.
Setelah beberapa hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ternyata datang meminang Hafshah. Umar pun lantas menikahkan putrinya itu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah itu Abu Bakar menemui Umar dan berkata, “Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau menawarkan Hafshah tetapi aku tidak memberikan jawaban?”
Umar berkata, “Ya.”
Abu Bakar lalu berkata, “Sebenarnya tidak ada yang menghalangi diriku untuk memberi jawaban atas tawaranmu, hanya saja sebelumnya aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyebut-nyebut nama Hafshah. Oleh karena itu aku tidak akan menyiar-nyiarkan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Andaikata beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya, sungguh akulah yang akan menikahinya.” (HR. Al Bukhari)
Menyembunyikan Rahasia Rumah Tangga
Termasuk perkara yang harus dijaga kerahasiaannya adalah rahasia rumah tangga. Hendaknya seorang suami menjaga rahasia keluarganya dengan tidak menceritakan hubungan pasutri-nya kepada orang lain. Demikian juga istri, hendaknya dia tidak menceritakan kepada orang lain bahwa semalam dia dan suaminya telah melakukan perkara demikian dan demikian, yakni menceritakan hubungan ranjangnya kepada orang lain.
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّ مِنْ أشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ القِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى الْمَرْأةِ وتُفْضِي إِلَيْهِ ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sesungguhnya seburuk-buruknya manusia di sisi Allah dalam hal kedudukannya pada hari kiamat ialah seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya dan istrinya itu pun menyetubuhinya, kemudian menyiar-nyiarkan rahasia istrinya itu.” (HR. Muslim)
Perkara ini adalah perkara yang haram, dan pelakunya akan mendapatkan seburuk-buruknya kedudukan di sisi Allah ta’ala kelak. Bahkan wajib bagi pasangan suami istri untuk menutupi rahasia mereka. Bukan hanya masalah ranjang saja, tapi juga permasalahan rumah tangga.
Menyembunyikan Rahasia (Aib) Mayyit
Di antara perkara penting lainnya yang harus dijaga adalah rahasia mayyit, yakni aib yang terdapat pada tubuh jenazah. Perkara ini penting sekali untuk diperhatikan terlebih lagi bagi orang yang bertugas memandikan si mayyit. Jangan sampai aib si mayyit tersebar kepada orang lain. Cukup dia yang mengetahuinya.
Dari Abu Rafi’ Aslam, maula (bekas hamba sahaya) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ غَسَّلَ مَيتاً فَكَتَمَ عَلَيْهِ ، غَفَرَ اللهُ لَهُ أربَعِينَ مَرَّة
“Barangsiapa yang memandikan seorang mayit, lalu ia merahasiakan keburukan mayit itu, maka Allah ampuni dia sebanyak empat puluh kali.” (HR. Al Hakim dan ia berkata bahwa ini adalah hadits shahih menurut syarat Imam Muslim, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib wat Tarhib No. 3492)
Penutup
Marilah kita menjaga rahasia dan aib saudara-saudara kita, semoga Allah menjaga pula rahasia-rahasia kita karena al jazaa’u min jinsil ‘amal, balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan yang kita amalkan. Wallahu ta’ala a’lam.
Referensi:
- Syarah Riyadhus Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
- Umdatul Qari, Syarah Shahih Al Bukhari, Badruddin Al ‘Aini Al Hanafi