Sunnah Memanah |
Umur manusia begitu pendek, sudah selayaknya manusia mengisi waktu demi waktu dengan segala hal yang bernilai ibadah. Bukan dengan hal-hal yang sia-sia dan tak berguna. Karena setiap gerak-gerik, ucapan dan setiap dengusan nafas selalu ada malaikat yang mencatat amal perbuatannya. Mestinya, ia tidak ingin lembaran amalnya dipenuhi dengan hal-hal yang tak memiliki nilai ibadah.
Tapi, hati manusia memiliki masa-masa semangat, namun pada batas tertentu, pada masa tertentu merasa penat pula. Adalah wajar jika seseorang mencari sesuatu yang bisa menghibur hatinya. Sesuatu yang berupa hal-hal menyenangkan, sekaligus menjadi penawar bagi aktivitas dan beban pikiran yang melelahkan. Hanya saja, rata-rata hiburan yang dipilih oleh manusia itu termasuk hiburan yang sia-sia, ada yang melenakan dari ketaatan, dan ada lagi yang jelas bernilai sebagai kemungkaran. Orang cerdas akan menjatuhkan pilihannya pada aktivitas yang bisa mengumpulkan dua kebutuhan itu, hati bisa terhibur, namun tetap memiliki nilai pahala, tidak dianggap laghwun dan sia-sia. Apa itu?
Nabi SAW bersabda:
"Setiap permainan laghwun yang dilakukan seorang muslim adalah bathil, kecuali ketika dia melemparkan panah dengan busurnya, ketika ia melatih kudanya, dan bercanda dengan istrinya. Ketiga hal ini adalah al-haq."(HR Tirmidzi, beliau berkata, "hadits hasan shahih.")
Memanah, Hiburan yang Mengantarkan ke Jannah
Berlatih memanah adalah olah raga yang menyenangkan, permainan yang mengasyikkan, namun tidak dianggap laghwun dan sia-sia. Banyak sekali motivasi Nabi SAW kepada umatnya untuk belajar memanah. Di antaranya, sabda Nabi saw,
"Sesungguhnya Allah akan memasukkan tiga orang ke dalam jannah karena satu anak panah, orang yang membuatnya dengan tujuan baik, orang yang melemparkannya dan orang yang menyiapkannya. Hendaklah kalian memanah dan berkuda, sedangkan memanah lebih aku sukai daripada berkuda." (HR Tirmidzi, beliau mengatakan, hadits hasan shahih)
Ada pahala bagi yang membuat panah, ada ganjaran bagi yang melemparkan panah, dan dijanjikan Jannah orang yang menyiapkan anak panah bagi yang hendak memanah, dan tidak sia-sia pula orang yang berjalan untuk mengambil anak panah dari tempat sasaran ketika latihan. Inilah sisi yang tidak tergantikan dari keutamaan memanah, meskipun dalam banyak hal fungsi panah bisa diganti dengan senjata-senjata modern.
Begitu kuat anjuran Nabi SAW kepada umatnya untuk belajar memanah, hingga banyak keringanan khusus yang berlaku bagi orang yang memanah. Suatu kali Nabi bersama Abu Bakar dan Umar melewati orang-orang yang berlatih memanah. Salah seorang yang hendak melepaskan anak panah berkata, "Demi Allah, ini pasti kena!" Ternyata panahnya meleset. Lalu Abu Bakar berkata, "ia telah melakukan dosa wahai Rasulullah!" Tapi Rasulullah bersabda,
"Sumpahnya orang yang sedang berlatih memanah itu tidak dianggap laghwun, tidak berdosa dan tidak ada kafarahnya." (HR. Thabrani)
Bahkan berjalannya seseorang untuk mengambil anak panah, dari tempat memanah dengan sasaran bernilai satu kebaikan pada setiap langkahnya, sebagaimana hadits Thabrani. Ini tidak berlaku dalam permainan yang lain. Dari sisi hiburan, permainan ini juga menghibur, dan mungkin ada bumbu canda ria di dalamnya. Imam al-Auza'y menyebutkan kesaksian dari Bilal bin Sa'ad tentang para sahabat yang beliau lihat, "Saya menjumpai suatu kaum, mereka mondar mandir antara tempat memanah dengan sasaran, mereka saling bercanda satu sama lain, namun ketika malam tiba, mereka khusyuk laksana para rahib."
Sayang, hanya sedikit dari kaum muslimin yang melirik pada permainan yang menyenangkan dan berpahala ini, sedikit pula para mubaligh dan penulis yang memiliki perhatian dalam masalah ini.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, adalah satu dari ulama yang memiliki perhatian besar tentangnya. Dalam buku karya beliau yang berjudul Al-Furusiyah, beliau bukan saja memberikan motivasi, membahas hukum-hukum yang terkait dengannya, bahkan sampai soal teknis bagaimana cara duduknya, cara memegang busur, menarik talinya, membidiknya, hingga cara melepas anak panah dari busurnya.
Berlatih Mengendarai Kuda
Hampir tak ada yang menyanggah, belajar mengendarai kuda itu adalah hiburan yang menyenangkan. Lebih menggembirakan, ternyata olah raga ini mendatangkan pahala. Dalam banyak hadits Nabi SAW juga memberikan dorongan kepada umatnya untuk melatih kudanya, berlatih mengendarai kuda, hingga lomba berpacu sering diadakan di zaman Nabi SAW. Meskipun secara fungsi, sebagian bisa tergantikan dengan alat transportasi modern, namun ada sisi yang tak bisa tergantikan. Nabi SAW menyebutkan keutamaan kendaraan kuda, Allah telah tetapkan pada ubun-ubun kuda itu terdapat kebaikan hingga hari Kiamat, sebagaimana disebutkan oleh Nabi SAW,
"Pada ubun-ubun kuda itu, telah ditetapkan kebaikan, hingga hari Kiamat." (HR Bukhari)
Terlalu mengada-ada jika mengqiyaskan kuda dalam hadits ini dengan kendaraan yang ada di zaman ini.
Sunnah Nabi SAW yang satu ini juga banyak ditinggal oleh kaum muslimin hari ini. Padahal di dalamnya ada nilai ketaatan, ada nilai i'dad, menyiapkan kekuatan, dan padanya juga terdapat hiburan yang menyenangkan.
Bercanda dengan Istri
Jika rumah tangga berjalan normal dan harmonis, canda antara suami istri adalah hiburan yang menyenangkan. Bukan saja hati menjadi tenteram dan damai, tapi juga syahwat yang tersalurkan di tempat yang halal. Bertambah lengkap kebahagiaan, karena ini dicatat sebagai sedekah. Hingga seseorang pernah bertanya kepada Nabi SAW,
"Apakah salah seorang di antara kami memperoleh pahala, padahal ia melampiaskan syahwatnya?"Maka Nabi SAW menjawab,
"Bagai mana pendapatmu jika syahwat itu disalurkan ke tempat yang haram, bukankah ia mendapat dosa? Begitulah jika ia salurkan di tempat yang halal, maka ia mendapatkan pahala." (HR Muslim)
Semoga, Allah menjadikan kecenderungan kita kepada hal-hal yang bernilai ketaatan, dan menjauhkan dari perkara sia-sia dan dosa. Amin.
(Ustadz Abu Umar Abdillah)