Ibu hamil
, Bagaimanakah hukumnya ibu hamil yang tak kuat berpuasa saat bulan Ramadhan? Seperti diungkap Ustaz Bachtiar Nasir dalam satu konsultasi, pada dasarnya, perempuan yang se dang hamil juga menyusui jika mereka kuat dan tak khawatir akan keselamatan dan kesehatan diri serta bayinya, dia harus melaksanakan kewajiban puasa. Tetapi, jika dia khawatir kalau ia ber puasa akan membahayakan diri dan bayi nya, menurut pengalamannya atau petunjuk dokter yang bisa dipercaya, ulama sepakat ia diizinkan untuk tidak berpuasa.
Dari Anas bin Malik, seorang lakilaki dari Bani Abdullah bin Ka’ab, ber kata, “Telah datang kuda Rasulullah ke pada kami. Lalu, aku mendatangi beliau dan mendapatkannya sedang makan.
Lalu, beliau bersabda, ‘Mendekatlah dan makanlah.’ Aku menjawab, ‘Aku sedang puasa.’ Beliau bersabda, ‘Mendekatlah, akan aku ceritakan kepadamu tentang puasa. Sesungguhnya Allah membe rikan keringanan bagi musafir dari ber puasa dan dari setengah shalat, serta memberikan keringanan bagi wanita hamil dan menyusui dari beban puasa.’” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan al-Nasa`i).
Tetapi, menurut Ustaz Bachtiar, para ulama berbeda pendapat tentang apa yang harus dilakukan oleh wanita hamil atau menyusui tersebut untuk membayar puasa yang ditinggalkannya itu. Ulama Mazhab Hanafi ber pendapat, wanita hamil atau me nyusui itu hanya diwajibkan mengqadha atau mengganti semua puasa yang ia tinggalkan pada Ramadhan itu di bulan-bulan lainnya.
Mereka berargumen, wanita hamil atau menyusui itu termasuk pada kate gori mereka yang sakit sehingga ti dak berpuasa pada Ramadhan. Dite gas kan dalam Alquran, orang yang sakit dan sedang dalam perjalanan dibolehkan tidak berpuasa dan meng qadha di bulan lain. Tidak ada kewajiban lainnya. Allah berfirman, “(Yaitu) dalam be berapa hari yang tertentu. Maka, barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain.” (QS al-Baqarah [2]: 184).
Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat 184 Surah Al-Baqarah itu merupakan keringanan. Yaitu, bagi orang yang sudah sangat tua yang tidak mampu lagi berpuasa untuk berbuka dan membayar fidiah, juga keringanan bagi wanita hamil dan menyusui jika ia khawatir terhadap anaknya agar berbuka dan membayar fidiah. Jadi, di sini ia memasukkan wa nita hamil dan menyusui ke dalam go longan orang yang tidak kuat untuk berpuasa.
Sehingga, wanita itu hanya diwajibkan berfidiah sebagaimana orang tua yang sudah tidak kuat lagi un tuk ber puasa. Wanita yang hamil dan me nyusui dalam jarak waktu yang sa ngat rapat sehingga tidak sempat meng qadha puasanya karena tahun ini dia hamil, terus menyusui, lalu hamil lagi, Allah tak menginginkan kesulitan baginya.
Tapi, bagi yang jarak kehamilannya tidak rapat dan mungkin hanya hamil dua atau tiga kali seumur hidupnya, dia harus mengqadha puasanya pada bulan Ramadhan. Sedangkan, Mazhab Syafii dan Hambali berpendapat, jika wanita hamil atau menyusui itu tidak berpuasa karena takut dan khawatir terhadap dirinya, dia hanya diwajibkan mengqa dha puasa yang ia tinggalkan.
Dalam kasus ini, wanita itu termasuk orang yang sakit, tetapi jika dia tidak berpuasa karena khawatir terhadap anaknya saja, dia harus mengqadha puasa itu dan membayar fidiah. Mereka menjelaskan, riwayat dari Ibnu Abbas yang mengharuskan membayar fidiah itu sebagai tambahan di samping kewajiban mengqadha puasa.
Mazhab Maliki dan Imam al-Laits berpendapat, hanya wanita menyusui yang diwajibkan mengqadha dan membayar fidiah karena ia bisa membayar orang lain untuk menyusui anaknya. Sedangkan, wanita hamil hanya diwajibkan mengqadha karena kehamilannya itu bagian dari dirinya yang tidak terpisah. Wallahu a’lam bish shawab.
Dari Anas bin Malik, seorang lakilaki dari Bani Abdullah bin Ka’ab, ber kata, “Telah datang kuda Rasulullah ke pada kami. Lalu, aku mendatangi beliau dan mendapatkannya sedang makan.
Lalu, beliau bersabda, ‘Mendekatlah dan makanlah.’ Aku menjawab, ‘Aku sedang puasa.’ Beliau bersabda, ‘Mendekatlah, akan aku ceritakan kepadamu tentang puasa. Sesungguhnya Allah membe rikan keringanan bagi musafir dari ber puasa dan dari setengah shalat, serta memberikan keringanan bagi wanita hamil dan menyusui dari beban puasa.’” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan al-Nasa`i).
Tetapi, menurut Ustaz Bachtiar, para ulama berbeda pendapat tentang apa yang harus dilakukan oleh wanita hamil atau menyusui tersebut untuk membayar puasa yang ditinggalkannya itu. Ulama Mazhab Hanafi ber pendapat, wanita hamil atau me nyusui itu hanya diwajibkan mengqadha atau mengganti semua puasa yang ia tinggalkan pada Ramadhan itu di bulan-bulan lainnya.
Mereka berargumen, wanita hamil atau menyusui itu termasuk pada kate gori mereka yang sakit sehingga ti dak berpuasa pada Ramadhan. Dite gas kan dalam Alquran, orang yang sakit dan sedang dalam perjalanan dibolehkan tidak berpuasa dan meng qadha di bulan lain. Tidak ada kewajiban lainnya. Allah berfirman, “(Yaitu) dalam be berapa hari yang tertentu. Maka, barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain.” (QS al-Baqarah [2]: 184).
Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat 184 Surah Al-Baqarah itu merupakan keringanan. Yaitu, bagi orang yang sudah sangat tua yang tidak mampu lagi berpuasa untuk berbuka dan membayar fidiah, juga keringanan bagi wanita hamil dan menyusui jika ia khawatir terhadap anaknya agar berbuka dan membayar fidiah. Jadi, di sini ia memasukkan wa nita hamil dan menyusui ke dalam go longan orang yang tidak kuat untuk berpuasa.
Sehingga, wanita itu hanya diwajibkan berfidiah sebagaimana orang tua yang sudah tidak kuat lagi un tuk ber puasa. Wanita yang hamil dan me nyusui dalam jarak waktu yang sa ngat rapat sehingga tidak sempat meng qadha puasanya karena tahun ini dia hamil, terus menyusui, lalu hamil lagi, Allah tak menginginkan kesulitan baginya.
Tapi, bagi yang jarak kehamilannya tidak rapat dan mungkin hanya hamil dua atau tiga kali seumur hidupnya, dia harus mengqadha puasanya pada bulan Ramadhan. Sedangkan, Mazhab Syafii dan Hambali berpendapat, jika wanita hamil atau menyusui itu tidak berpuasa karena takut dan khawatir terhadap dirinya, dia hanya diwajibkan mengqa dha puasa yang ia tinggalkan.
Dalam kasus ini, wanita itu termasuk orang yang sakit, tetapi jika dia tidak berpuasa karena khawatir terhadap anaknya saja, dia harus mengqadha puasa itu dan membayar fidiah. Mereka menjelaskan, riwayat dari Ibnu Abbas yang mengharuskan membayar fidiah itu sebagai tambahan di samping kewajiban mengqadha puasa.
Mazhab Maliki dan Imam al-Laits berpendapat, hanya wanita menyusui yang diwajibkan mengqadha dan membayar fidiah karena ia bisa membayar orang lain untuk menyusui anaknya. Sedangkan, wanita hamil hanya diwajibkan mengqadha karena kehamilannya itu bagian dari dirinya yang tidak terpisah. Wallahu a’lam bish shawab.
Redaktur: Endah Hapsari
REPUBLIKA.CO.ID