Anak dengan bakat cemerlang dan kecerdasan lebih sering diperlakukan salah sehingga malah kesulitan ketika belajar di sekolah (ilustrasi)
Yang terjadi, anak-anak dengan kemampuan lebih dianggap sama dengan yang lain dan dipandang sudah seharusnya mampu mengikuti setiap program yang diberikan.
Dalam kapasitas otak, mungkin iya, tetapi bagaimana dengan mental mereka? Jangan heran bila lazim dijumpai anak-anak cermerlang kita menjadi bosan, frustasi, dan bahkan berubah secara sosial dan akademis.
Padahal bisa jadi mereka membutuhkan program khusus untuk belajar dengan kurikulum sesuai percepatan mereka, dan berhubungan ''kawan setingkat'' yang mungkin memiliki ketertarikan sama
Ketika sekolah melakukan tugas luar biasa untuk menemukan anak-anak hebat dengan metode pemindaian seperti rekomendasi guru dan tes IQ, orang tua jangan lantas tergantung sepenuhnya terhadap sekolah dan hasil pengetesan.
Perlu pula dipahami. program pelatihan guru hanya memberi sedikit--jika ada--pengajaran terhadap anak berbakat lebih.Ironisnya, sistem pengajaran yang ada membuat banyak anak dengan kemampuan lebih, justru tidak mencapai prestasi tinggi di kelas. Prestasinya biasa, atau malah tak begitu bagus dalam hasil tes.
Anak-anak semacam ini bisa jadi memiliki masalah dalam fokus, perhatian, kemampuan organisasi yang lemah, atau sederhana, tidak cocok dengan gaya pengajaran di kelas. Sehingga mereka dipantau berlebihan sebagai anak tertinggal, dan luput diperhatikan ketika ada selesksi atau program pemilihan anak berbakat.
Cerita seperti ini bukan hal baru. Beberapa pengamat tumbuh kembang anak memperkirakan, mayoritas anak berkemampuan di sekolah sering tidak teridentifikasi. Itu mungkin bukan tragedi besar bagi si anak, tapi sebaliknya, musibah besar dalam dunia pendidikan, bila ternyata terbukti mereka adalah anak-anak cemerlang yang butuh program khusus untuk mendukungberhasil melalui proses pendidikannya.
Sebuah cerita dituturkan oleh David Palmer, seorang doktor psikologi pendidikan di Amerika Serikat. Seorang bocah lelaki tinggal di Arizona dites privat atas permintaan ibunya yang prihatin karena nilai-nilai sang anak di kelas semakin turun. Si anak juga kerap berkonflik dengan guru, menjadi semakin tidak tertarik ke sekolah. Dalam hubungan sosial ia pun sering diejek dan intimidasi secara fisik oleh teman-temannya--sebab mereka semakin senang melihat sikap reaksi berlebihan si bocah saat diprovokasi.
Akhirnya orang tua mempertimbangkan home-schooling, sejak anak mereka semakin sulit dan sulit untuk keluar pintu rumah, berangkat ke sekolah--yang dianggap si anak siksaan. Rupanya sekolah tidak pernah mengetes anak tersebut untuk mengetahui bakat dan kelebihan. Tes spesifik luput dilakukan padanya.
Sangat mungkin, sang anak tidak cocok dengan kompetisi meraih prestasi tinggi, kerjasama, citra anak manis, yang kerap dijadikan pertimbangan para guru ketika menyeleksian anak berbakat. Tapi faktanya, ketika IQ sang anak dites terpisah dari orang tuanya, angka yang keluar 160. Itu angka serius, menunjukkan anak tersebut memiliki tingkat kecerdasan di luar kebiasaan.
Kisah semacam tadi sebenarnya bukan hal baru dalam kasus anak-anak dengan bakat dan kecerdasan lebih. Akhirnya si anak dites dengan metoda lebih cocok dan ditempatkan di program alternatif, dimana masalah akademis dan sosial dapat dihindari. Pada intinya, orang tua dan guru perlu menjalin pemahaman terhadap permasalah setiap murid dan berkolaborasi dalam prespektif lebih luas dengan solusi.
Karena tak jarang sekolah luput melihat seorang siswa berbakat yang sangat butuh program khusus. Pandangan orang tua sangat pun penting dan dibutuhkan. Semakin banyak pengetahuan yang dimilki orang tua, semakin baik posisi orang tua untuk berkolaborasi dengan sekolah demi memastikan potensi dan kebutuhan sang anak tidak luput dari perhatian.
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Parents Journal