Ilustrasi
Oleh: Ma'ruf Mq
Setelah gelap terbitlah terang. Begitulah kira-kira perumpamaan kehidupan ini. Bagi siapa pun, kesusahan atau kebahagiaan selalu datang silih berganti. Keduanya selalu hadir dalam kehidupan, meski dengan proporsi yang berbeda.
Ada yang mengalami setengah kesenangan dan kebahagian. Ada pula yang merasa hidupnya lebih banyak kebahagiaannya, atau malah sebaliknya, merasa lebih banyak kesusahannya, sehingga kebahagiaan seperti menjauhi kehidupannya.
Simak kisah Nabi Ayub yang mendapatkan proporsi kesulitan yang cukup besar dalam hidupnya. Firman Allah SWT, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Mahapenyayang di antara semua penyayang’.” (QS. Al-Anbiyaa’: 83).
Bagaimana ikhtiar supaya proporsi kesenangan lebih banyak dirasakan daripada kesusahan? Padahal, senang dan susah tidak dapat tidak, mesti berganti.
Buya Hamka, seorang ulama yang memiliki andil besar dalam menghadirkan tasawuf modern, menyebutkan empat rukun agar kebahagian yang bersemayam dalam kehidupan manusia, lebih banyak terasa dibandingkan kesusahannya.
Pertama, sehat tubuh. Selain menjaga kesehatan fisik, disebutkan juga bahwa seseorang hendaknya menjauhi sifat hasad. Karena, dengan sifat hasad, ‘maka susahmu, miskinmu, dan sakitmu akan berlipat’.
Kedua, sehat akal, ingatan, keteguhan pendapat dan pikiran. Perjuangan hidup memang senantiasa menghendaki kepayahan akal. Oleh karena itu, akal yang cepat mengeluarkan pendapat, merespons realitas, dan selalu melihat apa yang di belakang yang tampak di mata, harus selalu diasah, sehingga menghadirkan kemenangan sekaligus kebahagiaan.
Ketiga, sehat jiwa, yang merupakan derivasi dari keimanan kepada Allah SWT. Namun, akan tidak berarti apa-apa sekiranya sehat rohani itu hanya dijadikan jargon, tanpa memberikan efek nyata dalam kehidupan.
Terakhir ada pepatah yang sangat berharga, yaitu ‘kekayaan adalah pada perasaan telah kaya’. Bila seseorang telah merasa kaya, sepeser pun tak berarti kekayaan itu kalau belum untuk kemaslahatan umum, membela fakir miskin, dan menyucikannya dengan berzakat, infak, dan sedekah. Oleh karenanya, perlombaan dalam mengarungi lautan kehidupan, meniscayakan perlombaan dalam melakukan penyucian jiwa.
Setelah gelap terbitlah terang. Begitulah kira-kira perumpamaan kehidupan ini. Bagi siapa pun, kesusahan atau kebahagiaan selalu datang silih berganti. Keduanya selalu hadir dalam kehidupan, meski dengan proporsi yang berbeda.
Ada yang mengalami setengah kesenangan dan kebahagian. Ada pula yang merasa hidupnya lebih banyak kebahagiaannya, atau malah sebaliknya, merasa lebih banyak kesusahannya, sehingga kebahagiaan seperti menjauhi kehidupannya.
Simak kisah Nabi Ayub yang mendapatkan proporsi kesulitan yang cukup besar dalam hidupnya. Firman Allah SWT, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Mahapenyayang di antara semua penyayang’.” (QS. Al-Anbiyaa’: 83).
Bagaimana ikhtiar supaya proporsi kesenangan lebih banyak dirasakan daripada kesusahan? Padahal, senang dan susah tidak dapat tidak, mesti berganti.
Buya Hamka, seorang ulama yang memiliki andil besar dalam menghadirkan tasawuf modern, menyebutkan empat rukun agar kebahagian yang bersemayam dalam kehidupan manusia, lebih banyak terasa dibandingkan kesusahannya.
Pertama, sehat tubuh. Selain menjaga kesehatan fisik, disebutkan juga bahwa seseorang hendaknya menjauhi sifat hasad. Karena, dengan sifat hasad, ‘maka susahmu, miskinmu, dan sakitmu akan berlipat’.
Kedua, sehat akal, ingatan, keteguhan pendapat dan pikiran. Perjuangan hidup memang senantiasa menghendaki kepayahan akal. Oleh karena itu, akal yang cepat mengeluarkan pendapat, merespons realitas, dan selalu melihat apa yang di belakang yang tampak di mata, harus selalu diasah, sehingga menghadirkan kemenangan sekaligus kebahagiaan.
Ketiga, sehat jiwa, yang merupakan derivasi dari keimanan kepada Allah SWT. Namun, akan tidak berarti apa-apa sekiranya sehat rohani itu hanya dijadikan jargon, tanpa memberikan efek nyata dalam kehidupan.
Terakhir ada pepatah yang sangat berharga, yaitu ‘kekayaan adalah pada perasaan telah kaya’. Bila seseorang telah merasa kaya, sepeser pun tak berarti kekayaan itu kalau belum untuk kemaslahatan umum, membela fakir miskin, dan menyucikannya dengan berzakat, infak, dan sedekah. Oleh karenanya, perlombaan dalam mengarungi lautan kehidupan, meniscayakan perlombaan dalam melakukan penyucian jiwa.
Redaktur: Chairul Akhmad