Ibu adalah manusia yang paling spesial dalam hidup kita. Pengorbanannya, cintanya, kasih sayangnya, dan ketulusannya. Semua spesial. Dan rasanya, tak ada satupun paham paham di dunia ini yang tak mengakui itu. Meskipun secara individu, tentu ada sebagian orang yang tak merasakan itu dalam hidupnya. Seperti itulah kiranya tema Kajian Utama yang ditulis Tarbawi Edisi 242. Nikmati tulisan tersebut yang kami muat secara berkala di sini.
Karena ia spesial, maka kita selalu dituntut untuk memelihara hubungan baik dengannya; berbakti, menjaga perasaan, mendoakan, membahagiakan dan meluluskan keinginan-keinginannya. Tapi karena kita dan ibu telah ditakdirkan lahir di dua zaman yang berbeda, maka seringkali ada hal-hal yang melahirkan ketidaksepahaman pada keadaan-keadaan tertentu. Karena kita dan orang tua ditakdirkan lahir di generasi yang berbeda, menghuni zaman yang tak serupa, mengalami perubahan-perubahan budaya yang tak sama, terkadang memunculkan perbedaan-perbedaan yang membuat komunikasi orang tua dengan anak tak sepaham, kehendak yang tak seiring, dan pikiran yang tak sejalan.
Ibu yang memiliki pandangan yang lebih dalam tentang hidup dan perasaan, kadang tidak bisa dipahami oleh kita sebagai anaknya. Keinginan-keinginannya yang sederhana seringkali ditafsirkan rumit oleh kita, sehingga
melahirkan praduga-praduga yang tak berdasar. Dan akhirnya menyimpan kecewa di hatinya.Sekadar Ingin Menunjukkan Cinta, Kasih Sayang dan Perhatian
Ibu adalah gudang cinta dan kasih sayang untuk anak-anaknya. Cintanya tak pernah berkurang. Kasih sayangnya tak pernah menipis. Cinta kasihnya tak pernah luntur meskipun kita telah jauh dari sisinya. Cinta kasihnya tak pernah menyusut meski kadang kita tak pandai menyambutnya. Dia selalu memberikannya kepada kita kapan saja, dengan cara apa saja. Tak ada bedanya, antara cintanya ketika kita masih kanak-kanak dan ketika kita sudah dewasa, atau ketika kita sudah merasa mampu untuk melakukan segalanya sendiri.
Bagi ibu, anak adalah tempat mencurahkan cinta dan kasih sayang. Walau kadang kita tak memahami sebagian cara ibu dalam mencintai kita, sehingga melahirkan praduga yang salah dan tuduhan yang bisa melukai hatinya.
Suatu hari, seorang anak hendak berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya. Kedua orang tuanya, karena merasa akan berpisah dengan anak yang dicintainya dalam jarak yang jauh dan dalam waktu lama, tentu ingin meluapkan perhatian dan kasih sayangnya dengan mengantar si anak ke bandara. Orang tua manapun, terutama ibu, memang selalu ingin menyertai anaknya pada saat-saat penting seperti itu, entah untuk sekadar memberi semangat, mendoakan, atau melepas rasa haru pada darah dagingnya.
Tapi si anak yang merasa sudah besar dan dewasa, tanpa rasa bersalah menolak niat baik orang tuanya. Dia justru menganggap keinginan baik mereka, seperti perlakuan orang dewasa kepada anak kecil yang harus selalu ditemani kemana pun akan pergi. Si anak kemudian meminta orang tuanya tetap di rumah dan membiarkannya berangkat sendiri.
Mungkin saja si anak itu punya maksud baik untuk tidak merepotkan orang tuanya, namun ia gagal memahami perasaan hati seorang ibu. Ia tidak mengerti gemuruh hati orang yang begitu berat melepas anaknya untuk pergi jauh. Sehingga yang terjadi kemudian, keinginan sederhana itu tak terwujud dan bahkan menyisakan luka di hati.
Anak yang dibesarkannya dengan penuh cinta dan pengorbanan, yang disekolahkan hingga pandai, ternyata pikirannya tak mampu menjangkau dalamnya cinta dan kasih sayang orang tuanya. Dia hanya mampu menafsir keinginan orang tuanya sebatas itu; menganggapnya masih kanak-kanak. Padahal persoalannya tidak sesederhana itu. Di sini, jelas tersimpan sebuah keinginan yang tak dipahami oleh si anak. Sebab kita pasti tahu, tentu kedua orang tua anak itu tidak hendak memperlakukannya seperti kanak-kanak. Tapi sebagai orang tua, mereka memiliki keinginan untuk tetap memberikan cintanya dalam waktu sekejap itu, sebelum berpisah dengan anaknya.
Pikiran orang tua jauh ke depan sana. Dalam benak mereka selalu terselip, “Andai ini pertemuan terakhir, aku ingin menatap anakku untuk terkahir kalinya.” Atau, “Anakku membutuhkan kekuatan doa, maka aku ingin mengiringi kepergiannya dengan lantunan doa.” (BERSAMBUNG)
bu adalah manusia yang paling spesial dalam hidup kita. Pengorbanannya, cintanya, kasih sayangnya, dan ketulusannya. Semua spesial. Dan rasanya, tak ada satupun paham paham di dunia ini yang tak mengakui itu. Meskipun secara individu, tentu ada sebagian orang yang tak merasakan itu dalam hidupnya. Seperti itulah kiranya tema Kajian Utama yang ditulis Tarbawi Edisi 242. Nikmati tulisan tersebut yang kami muat secara berkala di sini.
Sekadar Ingin Membuat Kita Senang
Barangkali, tidak ada orang yang paling tahu kesukaan kita selain ibu. Dari kecil kita diasuh, hingga dewasa kita diasah, ibu sangat mengerti kita, mengerti kesenangan kita dan hal-hal yang membuat kita senang. Dan salah satu keunikan seorang ibu, ia tetap selalu ingin menghadirkan kesenangan-kesenangan itu untuk kita, meski kita yang sudah dewasa merasa sudah tidak di masa itu lagi, atau merasa sudah mampu menghadirkannya sendiri. Sebab bagi seorang ibu, memberi kesenangan kepada anaknya adalah kesenangan tersendiri bagi dirinya. Betapa mulianya ia, yang tak pernah bosan dan lupa dengan kesenangan-kesenangan masa lalu kita, sejak kita masih kanak-kanak.
Hingga kapan pun, ibu selalu ingin membuat kita senang. Suatu hari kita datang menjenguknya, mungkin ia selalu siap menyajikan untuk kita menu-menu makanan kesukaan kita. Atau bahkan selalu bertanya, “Mau makan apa, nak?”, “Mau dimasakin apa, nak?” Semua siap ia sediakan tanpa terlihat raut letih di wajahnya demi membuat kita senang. Pun ketika kita hendak pergi, ibu selalu membekali kita dengan oleh-oleh dan cemilan-cemilan kegemaran kita, meski terkadang kita suka mencari-cari alasan untuk menolaknya karena merasa berat membawanya.
Keinginan ibu untuk membuat kita senang, tentulah sederhana. Dan cara ia melakukan itu, pun juga sederhana. Tapi seringkali kita tidak bisa memahami itu. Seorang kakak, menceritakan dialognya lewan telepon seluler dengan adiknya yang tinggal bersama ibunya nun jauh di kampung sana.
Sang kakak yang jauh diperantauan meminta adiknya untuk mengirimkannya sepaket jamu dari kampung halamannya. Tapi ketika barang itu hendak dikirim, adiknya menelpon meminta tambahan biaya, sebab selain jamu tersebut si ibu juga menyertakan makanan ringan berupa intip (kerak nasi yang dikeringkan), penganan kesukaan sang kakak sejak kecil.
Karena merasa tidak memesan intip, si kakak pun meminta adiknya untuk membawa kembali saja makanan itu. Namun si adik yang berkali-kali didesak tetap menolak sambil mengatakan, “Lebih baik saya berikan orang di jalan daripada ibu kecewa. Tiap hari kalau masak ditunggui supaya bisa jadi intip. Ibu juga mencari sinar matahari di banyak tempat agar intip cepat kering, bisa digoreng dan segera dikirimkan. Kamu kok malah begitu.”
Dari seberang sana, si kakak merasakan dadanya teriris mendengar kata-kata adiknya. Tenggorokannya terasa serak saat itu juga. Susah ia menelan ludahnya. Pikirannya melayang, membayangkan ibunya yang begitu tulus berbuat sesuatu untuk membuatnya senang. Sebuah keinginan yang sederhana, tapi nyaris saja ia menggagalkan keinginan itu, karena kegagalannya membaca keinginan tersebut. (BERSAMBUNG)