eh bidadari_Azzam Pertanyaan itu muncul dengan spontan, “Temanku bilang, Mamanya harus kerja siang dan malam karena duit Papanya tak cukup buat beli makanan dan keperluan yang banyak. Kalau Ummi, duitnya cukup gak?” ada-ada saja Si Lucu yang satu itu, jawabanku juga sambil bercanda, “Alhamdulillah cukup, memangnya Abang mau nambahin duit belanja Ummi?”
Sambungnya, “Iya, nanti kalau sudah besar, aku kerja lap-top-an kayak Abi. Trus kan nanti ada duit buat nambahin duit Ummi, hehehe”, “Gak usah, duit Ummi cukup, Ummi gak mau tuh minta duitnya Abang…” kataku. Sulungku kaget, “Lhooo, kenapa Mi? kan enak kalau banyak tabungan di bank? Tabungan Ummi udah banyak yah…bilang dong sama Abang?” Kalau diladeni, pertanyaan ini akan panjang kayak gerbong kereta api.
“Ummi cuma minta supaya anak Ummi jadi anak sholeh, disayang Allah. Gak perlu ngasih Ummi duit, Ummi nanti dikasih Allah hadiah yang lebih besaaar…” kukedipkan mata seraya kembali ke dapur, sebab kemarin sulungku itu memang mengembalikan uang jajannya buat tambahan duit belanjaku! (Jadi uang itu dipakai buat membayar jajan rotinya sendiri) Ia amat peduli, katanya temannya bilang, “Kamu beruntung, gak diasuh oleh Nanny (pengasuh anak), karena Mama kamu kan kerjanya di rumah saja. Tapi kalau mama kamu kekurangan duit kayak Mamaku, bisa juga sih kamu juga dititipkan pada pengasuh kalau usai jam sekolah…” masya Allah anak-anak zaman sekarang tambah cepat saja menularkan pemikiran. Pernah Saya memberinya uang beberapa zloty Poland sekedar untuk membeli air putih kalau bekal air minumnya habis. Ternyata uang itu tak dibawanya. “Kalau gak penting, gak usah bawa duit Mi… kemarin duitku jatuh 1 zloty karena mainnya lompat-lompat, hilang deh…” ujarnya.
“Jadi, Abang simpan di laci Abang yah?” ujarku. “Iya, Abang kumpulin aja, nanti buat beliin Ummi bunga. Di sekolah kan udah bawa makanan dan minuman dari rumah. Kalau air putih habis, kan ada di dapur Bu Guru. Ada gelas air putih dan buat teh Abang di kelas…” katanya. Hehehe, benar juga, memang di sekolahnya, tidak perlu jajan.
Duit bagi sebagian besar manusia, bagaikan pemegang kekuasaan tertinggi (di-Tuhan-kan). Semua urusan lancar, prosedur yang berbelit bisa mulus dan licin, kesulitan dan ganjalan bisa berjalan mudah karena perkara duit yang biasa disebut ‘kemenyan tambahan’. Duit bisa dikejar-kejar, dijadikan impian. Kalaulah nurani kita masih sesuci anak-anak seperti Bang Azzam, mungkin masih selalu berkata, “Lhoo, duit ini buat apa?” (dengan muka polosnya), jika ada yang ujug-ujug ngasih duit.
Malam itu, usai Isya’ di masjid Krakow, Suamiku pulang pukul Sembilan. Di bus, tak banyak orang. Ada beberapa Nenek dan Kakek, mahasiswa, serta keluarga kecil yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Anaknya berumur sekitar 7 tahun.
Suasana malam dingin, sebeku wajah Si Ayah yang tampak agak mabuk usai meneguk bir/alkohol. Wajah Sang Ibu tampak kesal dan geram, dan amat miris manakala melihat muka Si Anak, tatapannya sendu, sayu, dan terlihat lelah.
Ternyata Si Ayah dan Si Ibu itu sedang berdebat, pertengkaran terjadi, lidah beradu dalam bahasa Polish. Mereka meributkan urusan finansial, meskipun keduanya bekerja keras, namun kebiasaan buruk meneguk alkohol adalah gangguan besar, berdampak amat buruk dalam rumah tangga mereka.
Kedua Suami-Istri itu makin sibuk beradu argument, para penumpang bus bersikap ‘pura-pura tak melihat dan tak mendengar’. Sedangkan sopir bus sesekali melihat ke arah kamera pengawas CCTV. Bus arah Park Wodny menuju appartemen kami tersebut ternyata membawa pelajaran tersendiri buat suamiku tatkala berada disana. Tiba-tiba ia mendengar suara, “Plaaaaak!!!”, Si Suami menampar Istrinya. Penumpang lain menahan nafas, ada yang menggeleng-gelengkan kepala, ada pula yang bersikap acuh tak acuh.
Kemudian sekian detik dari tamparan pertama, bunyi pula, “Plaaaaak!”, tak kalah kencang sekaligus membuat suasana mencekam, Si Istri menampar Suaminya pula. Sang Anak menangis. Tambah kencang tangisnya ketika Si Ayah menjambak rambut Ibunya, Suamiku segera turun manakala bus tiba di halte depan appartemen kami, entahlah kelanjutannya… Siapa yang tak terharu melihat adegan nyata di hadapan seperti itu? Lagi-lagi anak yang menjadi korban… Astaghfirrulloh, “Jangan marah-marah di jalan lhooo, sayang… yang kayak tadi itu semoga tak pernah terjadi pada kita, aduh, parah amat, perang mulut, setamparan di muka umum pula. Cuaca dingin, sudah malam, Anaknya segede Abang kita, kasian kalau sakit, sakit lahir bathin… Bisa saja Si Anak jadi benci dengan Ayahnya, ia melihat Si Ayah mukul Sang Ibu dan mencaci maki Ibunya…” Suamiku menceritakan hal itu setiba di rumah.
Saya pun tersenyum, secuil peristiwa itu ternyata tertanam dalam hati Suamiku, semoga Allah ta’ala melindungi kami dari kejahatan bersikap dan buruknya tabiat sedemikian, aamiin.
Ribut sana-sini ngurusin duit sudah jadi fenomena di seluruh dunia. Padahal alat pembayaran bernama duit itu merupakan buatan manusia. Namun lucunya, manusia pemegang tahta bisa merasa mampu bermegah-megahan dengan mengipas-ngipaskan Si Duit tanda bangga. Manakala ada sesuatu kepentingan yang diperebutkan, kaitannya masih melulu soal Si Duit. Bahkan kondisi masyarakat yang konsumtif, ribut soal duit makin meluas, hingga bisa melupakan fenomena penting peringatan-Nya akan beragam ujian yang bisa datang tiba-tiba. Duit memang bisa jadi penyakit.
Sungguh beruntung orang beriman, yang kondisi keimanannya tak terganggu akibat imbas harga saham atau nilai tukar duit-duitan, yang senantiasa bersyukur, ikhlas menerima ketetapan-Nya atas apa-apa yang telah diusahakan. Duhai Teman, tak ada sejumlah duit yang nilainya pantas untuk menghargai seutas jalan perjuangan.
Saya teringat sister Fatma, ia dihadapkan pada pilihan: Dunia atau Akhirat. Ketika beberapa waktu lalu ia masuk Islam, ia langsung menutup aurat. Kemudian perusahaan tempatnya bekerja menyodorkan pilihan: lepaskan Hijab jika tetap bekerja di situ ataukah mengundurkan diri alias resign, seolah pilihan itu adalah: Duit atau Allah? Dan Allahu Akbar! Tentu saja ia memilih Allah ta’ala, tak seorang pun yang bisa menjamin hari esok bagi orang lain, Hanya Allah ta’ala pemilik segala kekuatan nan maha dahsyat. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengumumkan, 'Sesungguhnya jiika kamu bersyukur atas karuniaKu, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu berlaku ingkar (atas nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat'.” (QS. Ibrahiim [14] : 7)
Semoga Allah menjaga hati kita dalam ketaatan dan dalam kesabaran, aamiin. Wallahu’alam bisshowab.
(bidadari_Azzam, Salam ukhuwah @Krakow, jelang Subuh, 15 Dzulhijjah 1432 H)