Pentingnya Merawat dan Memperbaiki Batin Kamis, 03 November 2011
Oleh: Ali Akbar Bin Agil
DALAM sebuah kisah sufi yang terkenal, tersebutlah sebuah kisah tentang seorang pemuda ahli ibadah dan seorang pecinta dunia. Suatu hari, si ahli ibadah memasuki hutan yang penuh dengan singa. Melihat kedatangan pemuda ahli ibadah tadi, singa-singa di hutan itu merasa senang dan menyambutnya. Sementara itu, si pecinta dunia yang tatkala itu sedang berburu, baru saja memasuki hutan yang sama. Melihat kedatangan si pecinta dunia dan rombongannya, singa-singa itu mengaum siap menerkam sehingga membuat mereka merasa ketakutan.
Si ahli ibadah melihat kejadian itu dan dia berusaha menenangkan singa-singa tersebut. Maka berkatalah si ahli ibadah kepada si pecinta dunia dan orang-orangnya setelah menenangkan singa-singa ini, “Kalian hanya memperbagus dan memperindah penampilan luar saja, maka kalian takut kepada singa. Adapun kami, kami selalu memperbaiki dan memperbagus batin kami, sehingga singa pun takut kepada kami.”
Kisah di atas memuat pelajaran penting tentang hati sebagai pusat kebaikan. Hati adalah ibarat Raja yang punya hak veto dalam memerintah seluruh anggota jasmani menuju perbuatan baik atau jahat. Untuk merawat dan memperindah hati agar bercahaya, maka seseorang perlu terus-menerus mempertahankan dan mengamalkan kebaikan. Hati akan terus bersih, bening dan bercahaya jika kejahatan terus dihindari, jauh dari debu-debu dengki, riya`, takabbur, dan cobaan dijalani dengan ikhlas.
Memelihara hati bukanlah tugas yang sulit. Ini merupakan tugas yang wajib dilakukan setiap Muslim. Andaikata pun sulit atau mudah, itu harus dilakukan agar hati yang bersih berpendar dengan sinar kebaikan. Hati adalah wajahnya jiwa. Orang yang jiwanya baik, hatinya akan baik. Cara memperbaiki jiwa dengan memperbaiki hati.
Hati, dalam pandangan Imam Abdullah Al-Haddad adalah tempat penglihatan Allah. Sebelum yang lain, Allah melihat hati seseorang terlebih dahulu. Di sisi berbeda, anggota lahir badan kita menjadi tempat perhatian sesama makhluk yang acap dipandang dengan pandangan kekaguman.
Dalam sebuah doanya, Rasulullah SAW mengatakan :
"Allahummaj`al Sariiratiy Khairan Min `Alaaniyatiy Waj`al `Alaaniyatiy Shaalihah." (Ya Allah, jadikanlah keadaan batinku lebih baik dari keadaan lahirku dan jadikanlah keadaan lahirku baik). Inilah salah satu doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi kepada Allah. Di dalamnya terkandung permintaan agar menjadikan suasana hati lebih bagus ketimbang keadaan lahir.
Pertanyaanya, mengapa nabi menitikberatkan pada batin atau hati? Imam Abdullah menjawab: “Ketika hati baik, maka keadaan lahir akan mengikuti kebaikan itu pula. Ini merupakan sebuah kepastian.” Keyakinan ini didasarkan pada peringatan sabda Nabi Muhammad SAW sendiri: “Di dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hati Sebagai Pusat Segalanya
Setiap orang pasti menyukai keindahan. Banyak orang yang memandang keindahan sebagai sumber pujian. Ribuan kilometer pun akan ditempuh demi mencari suasana dan pemandangan yang indah. Uang berjuta-juta akan dirogoh untuk memperindah pakaian. Waktu akan disediakan demi membentuk tubuh yang indah.
Perhatikan bagaimana Rasulullah SAW yang meski pakaiannya tidak bertabur bintang penghargaan, tanda jasa dan pangkat, tapi tidak berkurang kemuliaannya sepanjang waktu. Rasulullah SAW tidak menempuh ribuan kilo, merogoh harta demi singgasana dari emas yang gemerlap, ataupun memiliki rumah yang megah dan indah. Akan tetapi, penghargaan terhadap beliau tidak luntur dan menyusut ditelan masa. Beliau adalah orang yang sangat menjaga mutu keindahan dan kesucian hatinya. Kunci keindahan yang sesungguhnya adalah ketika kita mampu merawat serta memperhatikan kecantikan dan keindahan hati. Inilah pangkal kemuliaan sebenarnya.
Hati adalah penggerak, raja, poros, dan pusat segala ibadah. Hati yang thuma`ninah (tenang) akan dapat membuat orang ringan bangun malam, membaca Al-Qur`an, datang ke masjid, dan semua amal shalih lainnya. Hati bisa mengajak kepada kebaikan sekaligus di saat yang sama bisa mengajak kepada kejahatan.
Kita melihat tidak sedikit orang yang mempunyai anggapan bahwa melakukan maksiat tidaklah mengapa asal hati kita baik. Anggapan dan keyakinan seperti ini jelas merupakan kesalahan besar. Menurut Imam Abdullah, orang yang berpendirian semacam ini adalah pendusta besar. Lahir dan batin haruslah berimbang dan sama-sama baik. Seumpama makanan, ia akan diminati orang jika isi dan bungkusnya baik.
Kebaikan yang dibuat-buat juga harus dihindari. Ada orang yang berjalan membungkuk, mengenakan tasbih, pakaiannya pakaian orang saleh. Di balik semua ini, kita melihat dalam batinnya orang seperti ini tertanam cinta dunia mengakar kuat, keangkuhan, kebanggaan pada diri sendiri, serta kegilaan pada pujian. Menurut Imam Abdullah, orang semacam ini adalah orang yang berpaling dari Allah.
Dalam sebuah peristiwa, Sayidina Umar ra. melihat seorang yang berjalan di hadapannya dengan membungkuk sebagai bentuk ke-tawadhu-an. Melihat ini, Sayidina Umar berkata, “Takwa itu bukan dengan cara membungkukkan badanmu. Takwa itu ada di dalam hati.”
Bagaimana jika seseorang tidak mampu memperbaiki batin lebih dari keadaan lahirnya? Menurut Imam Abdullah Al-Haddad, hendaknya ia menyamakan kebaikan lahir dan batin meski idealnya meningkatkan kebaikan batin lebih diutamakan dan disukai.
Orang yang memiliki hati yang bersih, tak pernah absen bersyukur kepada Allah, Penguasa jagat alam raya ini. Pribadinya menyimpan mutu dan pesona. Tak mudah jatuh dalam kesombongan dan kepongahan di kala merebut sesuatu namun tetap istiqamah tunduk pada Allah.
Orang yang mempunyai hati yang baik akan terus bersikap rendah hati walaupun berpangkat tinggi dan harta melimpah.
Mari bersihkanlah hati ini, beningkanlah dari segala kotoran, isilah dengan sifat-sifat yang baik agar ia tetap terang benderang, bersinar dan bercahaya serta selalu cenderung kepada kebaikan dan takwa.*
Penulis staf pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang- Jawa timur