Saling Menyemangati, Agar Tak Selalu Merasa Sendiri
Oleh Yenni Siswanti dan Purwanti
Menulis adalah menuangkan penghayatan. Bahwa apa yang kita lihat, kita rasa, bisa berguna untuk mengasah kesadaran kita, juga siapa yang berkenan untuk kita bagi, melalui tulisan. Tulisan ini merupakan salah satu karya Tarbawi, yang dimuat di Majalah Tarbawi edisi 233 Th.12
Nisa termenung di sudut kamar. Di tangannya terdapat tes alat kehamilan yang masih bergaris satu. Entah sudah berapa kali ia mencoba alat itu selama pernikahannya, tapi hasilnya masih sama. Negatif. Ujungnya, dia pun tak kuasa menahan tangis, mengingat pertanyaan–pertanyaan di sekelilingnya yang seringkali memojokannya.
Kapan hamil? Sengaja ya? Kamu gemuk sih? Untung suami kamu sabar ya? Dan pertanyaan lainnya yang membuatnya semakin hari semakin merasa tertekan.
Sudah hampir 10 tahun pernikahan ia jalani namun Allah belum memberikan amanah seorang anak kepadanya. Nisa dan suaminya telah beberapa kalin menyambangi dokter ahli dan alternatif lainnya.
Namun kehamilan yang ditunggunya belum jua hadir.
Di tempat lain, Maida, perempuan yang sudah tujuh tahun menikah dan belum dikaruniai anak juga mengaku kalau dirinya sempat enggan untuk datang di setiap acara keluarga untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan serupa. “Hati saya serasa terguncang kalau melihat sepupu-sepupu saya yang sudah punya anak, apalagi saya melihat anak-anak mereka tumbuh besar. Sedangkan saya, satu pun belum ada. Kadang sedih memikirkan itu,” ungkap Maida yang kini berusia 28 tahun.Beruntung, suaminya begitu memahami kondisi Maida, meskipun dirinya merasa tidak enak karena belum bisa memberikan keturunan. “Awalnya saya merasa sensitif dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan itu.
Tapi suami saya sempat marah karena saya terlalu menjadikan sindiran mereka sebagai beban. Akhirnya saya dinasihati suami, dia bilang kalau keturunan itu rezeki dari Allah. Maka minta lah kepada Allah. Nasihatnya itu membuat saya lebih tenang dan pasrah,” papar perempuan yang juga sudah melakukan berbagai upaya untuk bisa hamil ini.
Maida dan Nisa seringkali merasa sendiri menghadapi ini. Mereka ingin sekali berbagi dengan teman-temannya yang juga senasib dengan dirinya. Hanya saja ia merasa tabu untuk menceritakan apa yang ia alami, dan apa yang ia rasakan.
Sampai akhirnya mereka menemukan sebuah komunitas yang bisa menjadi tempat curhat para istri yang belum dikaruniai momongan. Komunitas Aku Ingin Hamil (AIH) merupakan sebuah wadah komunitas bagi mereka belum dikaruniai ‘momongan’ setelah pernikahan. Rafeila Reggie Kusumo, Nina Thomas, Diandra Dini dan Dyna Salim adalah pencetus komunitas ini.
“Komunitas ini terbentuk dari forum diskusi di salah satu situs pernikahan. Di sini kita membahas tentang mindset yang sudah terpatri dalam benak kebanyakan orang, bahwa setelah menikah itu harus hamil dan punya anak. Tapi kita tidak punya kuasa atas hal itu. Meskipun, setelah berusaha dan berdoa ternyata belum juga ada tanda-tanda kehamilan.
“Komunitas ini terbentuk dari forum diskusi di salah satu situs pernikahan. Di sini kita membahas tentang mindset yang sudah terpatri dalam benak kebanyakan orang, bahwa setelah menikah itu harus hamil dan punya anak. Tapi kita tidak punya kuasa atas hal itu. Meskipun, setelah berusaha dan berdoa ternyata belum juga ada tanda-tanda kehamilan.
Akhirnya kita merasa sendirian. Di sinilah tujuan kami membuat komunitas ini, agar mereka (yang belum dikaruniai anak) tahu bahwa mereka tidak sendirian, dan mereka bisa berbagai tentang apapun tentang kondisi dan perasaan mereka,” ujar Reggie, perempuan yang sudah setahun menikah namun belum dikaruniai anak ini.
Lulusan Universitas Moestopo itu pun menandaskan sebuah syarat untuk bisa bergabung di dalam komunitas ini. “Bagi mereka yang belum menikah, tidak bisa bergabung dalam komunitas ini. Dan komunitas ini khusus untuk perempuan saja, laki-laki tidak boleh ikut bergabung,” ujar Reggie.
Semua ini dilakukan untuk melindungi privasi dan ketenangan saat mereka saling sharing dan curhat. “Supaya mereka lebih tenang dan lebih santai curhatnya. Di sini kan wadahnya para istri yang belum juga diberikan keturunan, jadi kami harus memilih mana yang bisa jadi anggota mana yang tidak,” papar dia.
Perasaan senasib lah yang membuat mereka nyaman untuk berbagi, paling tidak untuk bercerita mengenai pahitnya perlakukan orang-orang terhadap mereka. Aktivitas di dalam komunitas ini berawal dari sebuah situs jejaring sosial.
Reggie membuat account-nya pada bulan Februari lalu. “Awalnya kita hanya sharing informasi tentang bagaimana caranya ke dokter kandungan, pengobatan alternatif, hingga tentang masa subur, dan masa ovulasi. Lama-lama mereka tahu sendiri tentang hal itu,” tambah Reggie. Lama kelamaan anggota komunitas ini semakin bertambah karena banyak orang yang ingin berbagi mengenai hal ini. “Karena tidak mudah menghadapi ini sendiri.”
Di sini mereka menceritakan banyak permasalahan, dan anggota yang lain mencoba untuk memberikan solusinya berdasarkan pengalaman masing–masing. Misalnya ada yang bertanya tentang bagaimana mengenai PCO (Polycystic Ovary—sejenis penyakit yang mengancam kesuburan) itu langsung anggota komunitas lainnya memberikan penjelasan” kata Reggie.
Paling tidak sampai saat ini, sudah ada sekitar 600 orang anggota yang tergabung. Meskipun tidak bertemu secara tidak langsung dan tidak sengaja saat membuka internet, mereka sempat mengadakan kopi darat (temu langsung) dengan masing-masing anggota. “Malah ada juga diantara mereka yang akhirnya memiliki kedekatan personal dari beberapa daerah, misalnya kopi darat untuk daerah Bandung, Yogya dan lainnya, sehingga bisa lebih sering curhat,” tambah Reggie. Di sini, Reggie sebagai salah satu pendiri ingin sekali kegiatan di Komunitas AIH tidak hanya sekadar berkumpul saja.
“Kami berharap bisa mengadakan seminar dan bekerja sama dengan berbagai pihak. Terutama kami ingin sekali mengadakan acara yang isinya tentang terapi psikologis untuk mereka yang hampir putus asa ketika belum juga memiliki momongan,” ujar Reggie.
“Kalau ada yang sedang down kami langsung memberikan semangat dan do’a kalau dia tidak mengalami sendiri. Kalau ada yang berhasil hamil kami senang sekali. Seringkali kami menyebutnya sudah lulus dari komunitas AIH,“ tambahnya. Meski ‘lulus’, karena sudah hamil, tak serta merta dia keluar dari komunitas. “Keberadaannnya di komunitas justru kami butuhkan, untuk membagi pengalamannya pada yang lain.” Seperti halnya Nia Dewi, anggota komunitas yang berhasil ‘lulus’, kini tengah mengandung anak pertamanya setelah menunggu empat tahun. Ia berkata selama empat tahun sudah banyak dokter dan alternatif yang pernah dicobanya.
Pemeriksaan yang dijalani mulai dari USG, HSG, TORCH , Diatermi hingga pernah inseminasi namun belum membuahkan hasil. Sampai kemudian ia bergabung di komunitas AIH dan banyak mendapatkan masukan dari sesama teman komunitas. “Saya banyak menerapkan tips – tips yang saya dapat dari komunitas ini. Saya mencoba salah satu tips tersebut misalnya minum jus wortel campur tomat dan apel selama kurang lebih dua bulan, alhamdulillah langsung isi,“ ujarnya senang. “Tapi yang paling penting pasrah sama Allah dan jangan terlalu stress, “ katanya lagi.
Manfaat lainnya juga didapat Maida yang haidnya tidak teratur, menjadi lancar saat mengikuti saran dari sesama anggota Komunitas. “Sudah sekitar empat tahun haid saya tidak lancar. Saya konsultasikan ke dokter, tapi hanya diberikan obat-obatan tanpa hasil. Setelah saya sharing ke teman-teman di Komunitas AIH, mereka memberikan banyak masukan. Alhamdulillah, setelah saran mereka saya ikuti, haid saya lancar lagi,” ujar Maida.
Sama halnya dengan Maida dan Nia, Deasy yang tahun ini genap berusia 30 tahun pun merasakan banyak sekali manfaat yang bisa diambil saat bergabung dalam komunitas ini. “Saya sudah dua tahun menikah, tapi Allah belum mengamanahkan kepada kami keturunan. Saya sering ditanya oleh keluarga saya. Awalnya sih biasa saja, tapi lama kelamaan saya merasa risih dan kesal kalau ditanya hal itu. Coba mereka berada di posisi kita, bagaimana rasanya ditanya hal itu?” ungkap perempuan yang kini tinggal di Kalimantan ini. Dia pun tidak sengaja menemukan Komunitas AIH saat membuka internet. “Di sini saya bisa menumpahkan isi hati saya, saya merasa Allah mempertemukan kami untuk saling memotivasi. Di sini, kami sama-sama berikhtiar, saling mendoakan dan saling memberi solusi sehingga kami bisa bangkit lagi,” ucapnya.
Kehadiran buah hati memang sesuatu yang paling ditunggu bagi pasangan suami istri. Tapi Allah memiliki rahasia-Nya sendiri. Ada takdir yang tak selalu bertaut dengan keinginan manusia. Maka, orang beriman selalu berprasangka baik. Komunitas AIH mengajarkan untuk terus bersabar, tak berhenti untuk berikhtiar, dan senantiasa saling menyemangati.