Seorang adik kos bercerita bahwa hampir tiap hari ia disms ibunya, sekedar menanyakan kabar atau mengabsen ketika jam makan. Menjelang akhir pekan teleponnya selalu berdering, sang bunda kembali menyapanya, menanyakan apakah pekan ini ia akan pulang.
Dua sahabat dekat bercerita kalau ibunya sangat ingin mereka segera kembali ke kampung halaman, membangun hari depan di sana. Sedang keduanya memiliki mimpi merajut cita di kota perjuangan yang sangat lekat dengan perubahan dirinya. Ada kekhawatiran ketika mereka kembali pulang banyak hal yang tidak bisa dilakukan, dan lebih dari itu, belum siap untuk bisa bertahan di lingkungan yang tentunya berbeda. Akhirnya ibu hanya berkata, “Kalau itu pilihanmu, ibu akan mendukung”.
Syawal kemarin saya dan beberapa teman berkesempatan silaturahim ke orang tua dari teman yang telah mendahului kami menghadap-Nya. Terlampau banyak kisah indah yang kembali diurai oleh sang ibu, seakan memori tiga tahun silam baru terjadi kemarin sore. Sayatan yang terlalu tajam mungkin, hingga bekasnya seakan tak akan pernah hilang. Tapi sungguh luar biasa, ketika putranya telah tiada tidak hanya doa yang mereka iringkan. Jalinan persaudaraan dengan rekan, bahkan dengan orang yang belum pernah dikenal namun satu almamater dengan almarhum. Juga membersihkan serta memperbagus makam, dan senantiasa menceritakan semangat juang sang putra yang berakhir di kotanya sendiri, di mana saat itu sang ibulah yang melepas keberangkatannya.
Masih tentang seorang teman yang sama-sama telah pergi mendahului kami. Belum hilang dari ingatan, sebulan pasca syahidnya mereka (insya Allah), HP berdering dari nomor tak dikenal. Ibu almarhum menelepon, bertanya kabar dan menyampaikan kangennya pada putranya. Bukan, bukan karena belum ikhlas. Saya menyaksikan sendiri ketegaran beliau melepas jasad itu ke liang lahat, beriring derasnya takbir dan istighfar. Hanya saja, kepergian yang mendadak itulah yang masih menyiratkan lara, karena almarhum-lah yang menjadi pengganti ayahandanya yang telah lebih dulu Dipanggil-Nya tiga tahun silam. “Terakhir kita ziarah ke makan Ayah, almarhum bilang ‘Bu, suatu saat saya akan menyusul Ayah’. Ibu gak menyangka secepat ini,” tuturnya, bersama setitik-titik aliran air mata. Ya, kesedihan yang manusiawi.
Paras cerahnya hilang seketika melihat putrinya tak sadarkan diri, dan masih harus menjalani operasi esok hari. Namun ia ingat, masih ada Allah, tempat menggantungkan segala harap. “Dibantu doakan ya..” pesannya pada kami semua, dengan senyum yang dipaksakan, namun kami yakini itu adalah ungkapan ketabahan.
“Sabtu-Minggu acara apa Mbak? Hati-hati, jaga kesehatan, jangan telat makan”. Pesan ibu yang selalu muncul di layar HP tiap Sabtu pagi ketika saya belum berkesempatan pulang. Ah… selalu saja saya kalah. Kalah telaten, kalah sabar, kalah perhatian, dan kalah-kalah yang lain. Bahkan saat berpamitan balik ke Solo selalu dipesan “Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai ngabari”, tapi entah hanya berapa kali saya mengindahkan untuk mengabarkan ketika sudah sampai kos dengan selamat. Hingga harus disusuli sms, “Sudah sampai belum? Istirahat dulu”. Dan yang selalu saya ingat, saya hampir selalu lupa mengucap terima kasih kepadanya.
********
Fragmen-fragmen yang semuanya bermuara pada sebentuk warna dari sekeping hati seorang ibu. Sering saya berpikir, terbuat dari apa sekeping hati itu, hingga bisa sedemikian tangguh menghadapi segala kondisi dan sedemikian teguh dalam mendidik generasi. Kalau bukan karena dipenuhi cahaya-Nya, jika bukan karena diliputi sifat rahman dan rahim-Nya, dan bila bukan karena keistimewaan yang sengaja diciptakan-Nya, tentulah tidak akan seluar biasa itu sosok seorang ibu.
Setiap orang tentu memiliki pahlawannya masing-masing, dan ibu akan selalu menjadi tokoh pahlawan bagi tiap diri. Akhirnya, tidak peduli seperti apa pun karakter yang menyertainya, bagaimana pun pembawaan figurnya, seberapa keras maupun lunak sikapnya, bagaimana pun perlakuan kepada putra-putrinya, seperti apa pun seni mendidik, membesarkan, dan mendampingi buah hatinya, tak akan pernah menghilangkan warna dominan yang ada padanya: kelembutan.
Rabbighfirlii waliwalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani shaghiiraa..
Dua sahabat dekat bercerita kalau ibunya sangat ingin mereka segera kembali ke kampung halaman, membangun hari depan di sana. Sedang keduanya memiliki mimpi merajut cita di kota perjuangan yang sangat lekat dengan perubahan dirinya. Ada kekhawatiran ketika mereka kembali pulang banyak hal yang tidak bisa dilakukan, dan lebih dari itu, belum siap untuk bisa bertahan di lingkungan yang tentunya berbeda. Akhirnya ibu hanya berkata, “Kalau itu pilihanmu, ibu akan mendukung”.
Syawal kemarin saya dan beberapa teman berkesempatan silaturahim ke orang tua dari teman yang telah mendahului kami menghadap-Nya. Terlampau banyak kisah indah yang kembali diurai oleh sang ibu, seakan memori tiga tahun silam baru terjadi kemarin sore. Sayatan yang terlalu tajam mungkin, hingga bekasnya seakan tak akan pernah hilang. Tapi sungguh luar biasa, ketika putranya telah tiada tidak hanya doa yang mereka iringkan. Jalinan persaudaraan dengan rekan, bahkan dengan orang yang belum pernah dikenal namun satu almamater dengan almarhum. Juga membersihkan serta memperbagus makam, dan senantiasa menceritakan semangat juang sang putra yang berakhir di kotanya sendiri, di mana saat itu sang ibulah yang melepas keberangkatannya.
Masih tentang seorang teman yang sama-sama telah pergi mendahului kami. Belum hilang dari ingatan, sebulan pasca syahidnya mereka (insya Allah), HP berdering dari nomor tak dikenal. Ibu almarhum menelepon, bertanya kabar dan menyampaikan kangennya pada putranya. Bukan, bukan karena belum ikhlas. Saya menyaksikan sendiri ketegaran beliau melepas jasad itu ke liang lahat, beriring derasnya takbir dan istighfar. Hanya saja, kepergian yang mendadak itulah yang masih menyiratkan lara, karena almarhum-lah yang menjadi pengganti ayahandanya yang telah lebih dulu Dipanggil-Nya tiga tahun silam. “Terakhir kita ziarah ke makan Ayah, almarhum bilang ‘Bu, suatu saat saya akan menyusul Ayah’. Ibu gak menyangka secepat ini,” tuturnya, bersama setitik-titik aliran air mata. Ya, kesedihan yang manusiawi.
Paras cerahnya hilang seketika melihat putrinya tak sadarkan diri, dan masih harus menjalani operasi esok hari. Namun ia ingat, masih ada Allah, tempat menggantungkan segala harap. “Dibantu doakan ya..” pesannya pada kami semua, dengan senyum yang dipaksakan, namun kami yakini itu adalah ungkapan ketabahan.
“Sabtu-Minggu acara apa Mbak? Hati-hati, jaga kesehatan, jangan telat makan”. Pesan ibu yang selalu muncul di layar HP tiap Sabtu pagi ketika saya belum berkesempatan pulang. Ah… selalu saja saya kalah. Kalah telaten, kalah sabar, kalah perhatian, dan kalah-kalah yang lain. Bahkan saat berpamitan balik ke Solo selalu dipesan “Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai ngabari”, tapi entah hanya berapa kali saya mengindahkan untuk mengabarkan ketika sudah sampai kos dengan selamat. Hingga harus disusuli sms, “Sudah sampai belum? Istirahat dulu”. Dan yang selalu saya ingat, saya hampir selalu lupa mengucap terima kasih kepadanya.
********
Fragmen-fragmen yang semuanya bermuara pada sebentuk warna dari sekeping hati seorang ibu. Sering saya berpikir, terbuat dari apa sekeping hati itu, hingga bisa sedemikian tangguh menghadapi segala kondisi dan sedemikian teguh dalam mendidik generasi. Kalau bukan karena dipenuhi cahaya-Nya, jika bukan karena diliputi sifat rahman dan rahim-Nya, dan bila bukan karena keistimewaan yang sengaja diciptakan-Nya, tentulah tidak akan seluar biasa itu sosok seorang ibu.
Setiap orang tentu memiliki pahlawannya masing-masing, dan ibu akan selalu menjadi tokoh pahlawan bagi tiap diri. Akhirnya, tidak peduli seperti apa pun karakter yang menyertainya, bagaimana pun pembawaan figurnya, seberapa keras maupun lunak sikapnya, bagaimana pun perlakuan kepada putra-putrinya, seperti apa pun seni mendidik, membesarkan, dan mendampingi buah hatinya, tak akan pernah menghilangkan warna dominan yang ada padanya: kelembutan.
Rabbighfirlii waliwalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani shaghiiraa..