Selepas Khadijah binti Khuwailid wafat, Rasulullah Saw tak berniat untuk menikah lagi. Khadijah adalah pesona kematangan ruhiyah, kecemerlangan fikir dan kesempurnaan fisik seorang wanita. Lantaran keutamaannya itu pula, Khadijah berhak menjadi pendamping pertama Rasulullah Saw yang merupakan manusia paling utama di muka bumi.
Kasih sayang, perhatian, pengorbanan, cinta, ketulusan, dan semua yang dilakukan Khadijah al-Kubra ini amat membekas dalam benak Nabi. Karenanya, tatkala janda kara raya nan dermawan ini berpulang ke haribaan Allah Ta’ala, beliau Saw dirundung sedih, dan tahun wafatnya sang istri pertama itu dijuluki‘Amul Huzni, Tahun Kesedihan.
Namun, Nabi Saw bukanlah manusia biasa yang bertindak berdasarkan fikiran apalagi nafsunya. Beliau adalah manusia yang terbimbing oleh langit melalui firman-firman Allah Ta’ala yang diturunkan secara berkala melalui malaikat Jibril yang mulia. Karenanya, Nabi Saw pun menikah untuk kedua kalinya dengan wanita nan mulia yang dua kali berhijrah, Saudah binti Zum’ah.
Di antara pertimbangannya, sebagaimana direkomendasikan oleh salah seorang shahabiyah, bahwa Khadijah al-Kubra meninggalkan Fathimah az-Zahra yang masih belia. Karenanya, anak kesayangan Nabi ini membutuhkan sosok ibu untuk mendidik dan mengembangkan potensinya. Maka sosok Saudah binti Zum’ah yang dewasa, matang, berakhlak mulia, dermawan, dan lembut itu, amat cocok untuk dijadikan sosok ibu bagi Fathimah kecil.
Maka, sebelum berangkat hijrah ke Madinah, Rasulullah Saw menikahi Saudah binti Zum’ah dalam pernikahan sederhana yang penuh berkah. Selepas itu, Saudah melakukan semua yang bisa dikerjakan guna membahagiakan sang suami yang amat dicintainya itu.
Seiring berjalannya waktu, Rasulullah Saw yang mulia menikahi ‘Aisyah binti Abu Bakar. Ialah satu-satunya istri yang dinikahi Nabi saat masih perawan. Rupanya, meski usia Saudah binti Zum’ah dan ‘Aisyah binti Abu Bakar ini terpaut amat jauh, keduanya berhasil menjadi tim keluarga Rabbani yang layak dijadikan teladan dalam keluarga kaum muslimin hingga akhir zaman.
“Aku tidak pernah menemukan seorang wanita yang lebih kusukai jika diriku menjadi dirinya,” puji ‘Aisyah suatu ketika, “selain Saudah binti Zum’ah.” Pungkasnya menegaskan, “Ia adalah seorang wanita yang kekuatan jiwanya luar biasa.”
Duhai, betapa mulianya keluarga Rabbani ini. Sesama istri dalam keluarga itu, saling puji tanpa canggung. Bahkan pujian satu istri kepada istri yang lainnya direkam dengan jelas dan bisa disaksikan oleh seluruh generasi Islam hingga akhir zaman.
Di antara kelebihan Saudah yang lain, tatkala dirinya memasuki usia senja, ketika sudah tak ada hasrat biologis terhadap laki-laki, dan menyadari bahwa suaminya amat mencintai salah satu istrinya sebab pesona yang ada padanya, Saudah binti Zum’ah dengan rela hati memberikan jatah gilirannya kepada ‘Aisyah binti Abu Bakar.
Padahal, Rasulullah Saw tak pernah membedakan jatah giliran untuk bermalam di rumah istri-istrinya dan senantiasa mengundi istri-istrinya untuk diajak saat bepergian.
“Wahai Rasulullah,” tutur Saudah suatu ketika, “aku hendak memberikan hari giliranku untuk ‘Aisyah,” pungkasnya menyampaikan. Kemudian Rasulullah Saw pun menerimanya.
Riwayat shahih ini, hendaknya menjadi sebuah pelajaran berharga bagi seluruh keluarga kaum muslimin, utamanya mereka yang menempuh jalan poligami sebagai salah satu sunnah Nabi. Tentunya dengan pertimbangan yang bijak, jujur dalam mengambil ibrah, dan melakukan konsultasi kepada ustadz atau guru yang memang memiliki kompetensi dalam bidang ini.
Semoga Allah Ta’ala memberikan kepahaman yang baik kepada kita, sehingga Islam tidak dipandang keruh karena kekeliruan kita dalam beramal, kemudian dengan mudah berdalih menjalankan sunnah Nabi. [Pirman]