Di antara bentuk kesedihan yang dialami oleh seseorang adalah saat ditinggalkan oleh orang yang disayanginya. Baik untuk bepergian, belajar di tempat yang jauh, merantau untuk mencari penghidupan maupun dijemput ajal.
Kesedihan saat ditinggal mati akan lebih terasa ketika yang dicabut nyawanya adalah ibu, bapak, suami/istri, anak, kakak, adik, ustadz, murid, maupun orang-orang yang memiliki kedekatan perasaan khusus.
Kesedihan itulah yang dialami oleh Fathimah az-Zahra ketika mengetahui bahwa ayah yang amat disayanginya-Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-akan menghadap keharibaan Allah Ta’ala.
Lantaran sedihnya itu, Fathimah menangis. Anehnya, sesaat setelahnya, Fathimah pun tertawa. Jika ia menangis lantaran sedih, lantas apakah yang menyebabkan ia tertawa setelahnya?
Ummu Salamah berkata, “Rasulullah memanggil Fathimah pada tahun terjadinya penaklukan Kota Makkah.” Setelah bersua, Nabi membisikkan sesuatu kepada anaknuya itu. Setelah itu, lanjut Ummu Salamah, “Fathimah pun menangis.”
Tak lama kemudian, Rasulullah kembali membisikkan sesuatu kepada istri Sayyidina Ali bin Abi Thalib ini. Anehnya, terang Ummu Salamah, “Fathimah pun tertawa.”
Waktu pun berlalu hingga Rasulullah wafat. Baru setelah itu, Ummu Salamah bertanya kepada Fathimah, “Mengapa ketika Rasulullah membisikkan sesuatu, kamu menangis kemudian tertawa?”
Jawab Fathimah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, “Aku menangis tatkala beliau memberitahu bahwa beliau akan wafat.” Kemudian, “Beliau memberitahukan pula bahwa aku akan menjadi penghulu wanita surga seperti Maryam binti ‘Imran.” Karena hal itulah, lanjut Fathimah, “Aku pun tertawa.”
Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas sebagaimana dikutip Sayyid Quthb dalam “Fi Zhilalil Qur’an”, yang menjadi sebab tertawanya Fathimah adalah perkataan Rasulullah, “Bersabarlah,” lanjut Nabi sebagimana diriwayatkan oleh Al-Hafizh Baihaqi, “Karena engkau adalah anggota keluarga yang pertama kali menyusulku.”
Itulah kesedihan saat ditinggalkan ayah yang amat dicintainya, ketika ia yang bahunya menjadi sandaran saat seorang anak gundah gulana pergi dan tak mungkin kembali. Maka kebahagiaan itu didapati manakala keduanya akan kembali dipertemukan, apalagi dalam keadaan yang lebih baik.
Dan, kabar pertemuan kembali itulah yang menjadi sebab kebahagiaan hingga Fathimah tertawa. Meski maknanya, pertemuan itu harus didahului dengan kematian. [Pirman]